Selasa, 28 April 2009

TUGAS MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL

ANNUAL LECTURE

Nama: Adib Hasan

Npm : 110110070518

Dosen : R.A Gusman Catur S.,SH., LL.M.

Pembicara:

1. Mieke komar kantaatmadja

2. Hikmahanto juwana

3. Nugroho wisnumurti

4. Mulya wirana

Pernyataan:

Dengan ini Saya menyatakan tugas ini Saya kerjakan sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain”

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

Bagian I

Penerapan Hukum Internasional Dalam Putusan Lembaga Peradilan

Oleh : Mieke komar kantaatmadja

Kedudukan dan peranan Hukum Internasional

Menurut KO Swan Sik : ajaran-ajaran ini tidak memberikan jawaban yang pasti atas pertanyaan berkaitan dengan “hukum internasional yang berlaku” atau hukum positif. Pilihan yang dibuat hukum nasional tentang kedudukan dan peranan Hukum Internasional, khususnya perjanjian Internasional, dapat berupa:

· Suatu tindakan hukum tegas dalam Hukum Nasional yang bersangkutan, misalnya dengan memuat dalam UUD atau UU biasa

· Atau tanpa mengambil pilihan diatas, missal suatu aturan hokum kebiasaan internasional yang langsung diakui dalam suatu putusan konkrit antala lain putusan Hakim.

Proses implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional mutlak perlu apabila Treaty tersebut berisikan :

· Unsur-unsur progresif development of internasional law dan kaedah-kaedah baru ini belum dimuat / dikenal dalam hokum nasional kita (contoh konvensi hukum Laut 1982.

· Aturan hukum yang bersifat merubah /menambah isi UU yang sedang berlaku

· Perlu diadakan penambahan atau perubahan dalam hukum acara perdata/pidana/adminstratif, agar berlaku isi konvensi dapat efektif berlaku dalam hukum nasional kita (contoh Perma 1 1990 tentang Recog of Foreign Arbitral Awards).

Tugas hakim

· Menerapkan Undang-undang (hukum pidana), mengambil purusan ex aquo et bono berdasarkan rasa keadilan, menginter-pretasi UU dengan aalogi dll.

· Adakalanya UU nasional tidak jelas menjabarkan isi atau pngertian tertentu suatu konvensi internasional yang telah diratifikasi, misalanya penjelasan dan memuatnya dalam pertimbangan hukumnya yang dapat menjadi dasar putusan bersama (majelis hakim)

Dalam perkara HAM di RI para hakim sering mengadakan studi banding dengan perkembangan dan penerapan asas-asas dalam kasus HAM Internasional, sekalipun asas yang bersangkutan belum diatur dengan rinci dalam UU kita, sekalipun hasil analisa para hakim akhirnya berbeda-beda dan menghasilkan putusan tidak bulat (dengan Dissenting opinions, seperti penyelesaian kasus-kasus HAM di Timor-timor yang lalu)

Contoh konvensi internasional yang diratifikasi

Konvesi Hukum Laut, 1982, diratifikasi dengan UU RI no. 17 tahun 1985, (re –ps 306/ pasal 307 tentang ratifikasi dan aksesi). Implementasi isi konvensi tersebut:

· UU no. 6, 1996 tentang Perairan Indonesia

· UU no 27, 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil

· Uu no 43, 2008 tentang Wilayah negara

· Beb Kep Pres tentang soal terkait konvensi 1982

· Beb Peratuaran pemerintah terkait daftar koordinat titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia di Kepulauan Indonesia.

· Uu no 31, 2004 tentang perikanan

· Uu no 31 tahun 2004 tentang perikanan, revisi UU no 9 tahun 1985, revisi isi konvensi 1982 dan UU no 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia, meliputi:

o Peraiaran yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi NKRI, Zona Internasional, yang mengandung saumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan: disebut “wilayah pengelolaan perikanan RI dan/atau di laut lepas”.

o Bab V tentang ketentuan pidana pasal 92 jo ps 26 ayat (1), tentang larangan melakukan penangkapan/pembudidayaan/pengangkutan pengolahan pemasaran ikan tanpa memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dipidana maks 8 tahun dan denda maksimal Rp 150.000.000,-

o Ps 93 jo ps 27 ayat (2) tentang larangan mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk melakukan usaha penangkapan ikan tanpa Surat Izin Penagkapan ikan (SIPI), maksimal pidana 6 tahun dan denda maksimal Rp 2.000.000.000,-

o Bagi kapal berbendera asing, tanpa SIPI, pidana maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp 2.000.000.000,-

o Ps 94 ayat (1) tentang larangan pengangkutan ikan tanpa Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), maksimal pidana 5 tahun dan denda maksimal Rp 1.500.000.000., Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) maksimal pidana 8 tahun dan denda maksimal Rp 1.500.000.000,-

o Berpuluh perkara telah diputus oleh Mahkamah Agung, mengbulkan dakwaan JPU yang beralas pasal-pasal diatas, baik berkaitan dengan tak ada SIUP, SIPI, SIPKI, maupun yang mengangkut kapal penangkap ikan yang berbendera asing.

TRIPPS-UU HKI tentang Merek Terkenal

· Penggunaan istilah /pengelompokan “ Famous dan Well-known Marks” tidak dikenal dalam UU no 15 tahun 2001.

· Pasal 6 b:” permohonan harus ditolak olehDirJen apabila Merek tersebut mempunyai persaaan pada pkoknya atau keseluruhan dengan merek tersebu yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis

· Perlindungan yang diberikan ada pengakuan terhadap keberhasilan pemilik merek dalam menciptakan “image eksklusif dari produknya”

· Proteksi dari famous dan well-knowm marks terhadap upaya beritikad buruk, berasal dari Konvensi Paris 1925 dan TRIP’S 1994 dengan:

Meniadakan batas waktu untuk permohonan pembatalan suatu merek apabila pendaftarannya disertai itikad buruk yaitu karena meraih keuntungan dengan mendompleng pada ketenaran suatu merek terkenal (deliberate deception)

Kriteria merek terkenal

Rekomendasi WIPO 1999 tentang kriteria Merek Terkenal, antara lain:

· Tingkat pengakuan terhadap merk tersebut

· Luas dan lamanya merek tersebut digunakan

· Luas dan lama pengiklanan dan publisitas yang diberikan pada merek tersebut

· Luas pengkuan, penggunaan, pengiklanan, pendaftaran dan pelaksanaan merek secara geografis, (bila ada) faktor-faktor lain yang dapat menentukan jangkauan pengakuannya merek tersebut secara lokal/regional/ dunia, dst.

Putusan MA selama ini mendukung pengakuan atas merek terkenal, anatara lain kasus Benetton (2004), versace (2004), PK Prada (2007),dll

MA juga telah mengabulkan gugatan para penggugat untuk permohonan pembatalan pendaftaran merek men UU RI, baik didukung dengan fakta bahwa pemohan kasasi/PK sudah terdaftar mereknya sebelumnya baru memohon pendaftarannya.

RI memiliki UU no 26, 2000 tentang pengadilan HAM, dalam ps 42 (2), “seorang stasan, baik polisi maupun sipil l;ainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni

a) Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengbaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat, dan

b) Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghetikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat ysng berwenag untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

Hukum nasional telah memuat konsep” Superior liability” dalam UU 26, 2000, sesuai dengan pengakuan bahwa suatu konsep hukum diakui sebagai prinsip hukum yang telah diakui umum ataupun hukum kebiasaan ninternasional, hal mana diakui oleh The Law of Treaties 1969, ps 3 :” bahwa isi Konvensi Internasional yang diterima/ mengikat “under internasional Law independently of the Convention”, yang men Traveaux preparatoire Convention. Menunjuk pada “ general international law”.

Dalam pertimbangan para hakim PN dan hakim agung telah dimuat referensi pada “precedents” yang diterpakan dalam International Criminal Tribunal for Rwanda(ITCR) dan ICT former Yugoslavia, dan doktrin dalam berbagai buku / majalah humanitarian Law, berkaitan dengan tanggung jawab atasan dari Kepala Kepolisian, Gubernur, para bipati dalam kasus Timor-timor yanglalu

Sekalipun hasil analisa akhir dengan menguji fakta / bukti dalam setiap kasus tidak selalu sama

UU no 37 tahun 1999, tentang Perjanjian Internasional

· The law of treaties 1969 diakui sebagai memuat prinsip-prinsip hukum yang sekalipun belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah diakui berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional dan telah menjadi pedaman bagi Indonesia dalam hubungannya denagn masyarakat Internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional

· UU 37 tahun 1999 tentang perjanjian internasional tidak memuat seluruh konsep The Law of Treaties, sehingga masih perlu dipertanyakan apakah pasal-pasal lain selain tentang pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sudah dapat diterima sebagai “general internasional law” oleh RI??

Bagian II

Urgensi Reorientasi Arah Pendidikan dan Pengajaran Hukum Internasional

Oleh: Hikmahanto Juwana

Hukum Internasional dalam Praktek

· Hukum internasional tidak sekedar kaedah yang mengatur hubungan antar subyeknya

· Hukum internasional telah difungsikan sebagai instrumen politik

o Negara maju, memanfaatkan hukum internasional untuk melindungi dan mengamankan kepentingannya

o Negara berkembang memanfaatkan hukum internasional untuk mengubah tatanan dunia dan sosial

Pentingnya hukum internasional bagi Indonesia

· Untuk memperjuangkan kepentinagn nasional, pengakuan negara Indonesia sebagai negara berdaulat dan sebagai negara kepulauan

· Dibutuhkan untuk interaksi Indonesia dengan negara lain dalam berbagai hal.

o Ekstradisi, perang melawan teror.

· Indonesia pun menjadi korban penggunaan hukum internasional oleh negara maju.

· Hukum internasional tidak lagi didominasi oleh para diplomat, tetapi digunakan oleh aparat penegak hukum.

Arah pendidikan dan pengajaran Hukum internasional

· Penyadaran para pengajar dan peneliti hukum internasional tentang paradigma yang berbeda dari pengajar dan peneliti dari negara maju

· Bisa memberikan pemahaman dalam suasana Indonesia

· Bisa memberikan pencerahan teoritis dari berbagai peristiwa yang trerkait dengan hukum internasional

· Perspektif negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu lebih dikedepankan.

Bagian III

Komisi hukum internasional dan kepentingan Indonesia

Oleh : Nugroho Wisnumurti

Pendahuluan

· Sebagai anggota masyarakat internasional indonesia dalam hubungan antar-Negara wajib mematuhi hukum internasional yang mengiaktnya

· Sebaliknya, hukum internasional sangat penting bagi Indonesia sebagai sarana hukum untuk memajukan dan melindungi kepentingan nasional

· Untuk memajukan dan melindungi kepentingan nasionalnya, indonesia menempuh dua strategi:

1. Menentukan kebijakan luarnegeri dan melakukan kegiatan hubungan luar negeri berdasarkan hukum internasional yang berlaku.

2. Ikut merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional agar hukum, internalsional yang berlaku kemudian akan dapat memajukan dan melindungi kepentinagn kita.

Upaya awal kodifikasi hukum internasional

· Aspirasi untuk mengkodifikasikan hukum internasional dimulai secara sistematis sejak resolusi Majelis Liga Bangsa-bangsa tanggal 22 September 1924 tentang pembentukan Committee of Experts for the Progressive Codification of international Law

· Tahun 1927 majelis LBB memutuskan untuk mengadakan komferensi diplomatik untuk mengkodifikasi tiga topik:

o Kewarganegaraan

o Laut teritorial

o Tanggung jawab negara untuk kerugian yang terjadi di wilayahnya terhadap orang atau properti orang asing

· Tanggal 13 Maret-12 April 1930 hanya berhasil membuat beberapa instrumen internasional tentang kewarganegaraan

· Mengenai laut wilayah, konverensi hanyamenyetujui beberapa rancangan pasal0pasal yang kemudian menjadi dasar utama perumusan konvensi hukum laut.

· Upaya untuk mengembangkan progresif dan kodifikasi hukum internasional memperoleh momentum setelah PBB tahun !947 membentuk Komisi Hukum Internasional (international Law Commission –ILC)

· Dalam perkembangan selanjutnya, upaya pengembangan progresif hukum internasional juga dilakukan di forum lain seperti di Majelis Umum PBB, komferensi internasional dan di forum hukum regional seperti di Eropa dan di Amerika Latin

Peranan Indonesia dalam Kodifikasi dan Pengembangan progresif hukum Internasional

· Perjuanagan Indonesia secara nyata dimulai di konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 dan 1960- memperjuangkan pengakuan internasional terhadap penentuan laut teritorial Indonesia berdasarkan Deklarasi Juanda tahun 1957

· Perjuangan Indonesia di Konferensi ini belum mencapai hasil.

· Perjuangan selanjutnya dilakuakn di berbagai konferensi diplomatik yang meng-adopt anatara lain konvensi tentang Hubangan Diplomatik 1961; konvensi tentang hubungan Konsuler 1963; konvensi tentang Perjanjian Internasional 1969 dll, yang disiapkan oleh komisi Hukum Internasional.

· Perjuanagn Indonesia di luar konteks Komisi Hukum Internasional dilakukan anatara lain di Konferensi PBB Ketiga tentang Hukum Laut tahun 1962. Perjuangan Indonesia dalam konferensi ini menunjukkna hasil yang cemerlang denagn berhasil dicantumkannya rejim hukum Negara Kepulauan di Konvensi Hukum Laut 1962 tersebut

Komisi Hukum Internasional

· Dibentuk PBB tahun 1947

· Tujuan: memajuakan pengembangan progresif dan kodifikasi hukum internasional(pasal 1, paragraf 1 Statuta),yaitu

o Pengembangan progresif hukum internasional adalah perumusan rancangan konvensi tentang masalah-masalah yang belum diatur oleh hukum internasional atau hukum internasional uang belum sepenuhnya dikembangkan dalam praktek negara (pasal 15 Statuta).

o Merumuskan hukum internasional secara lebih tepat dan mensitemasikan peratuaran hukum internasional di bidang-bnidang dimana sudah ada praktek Negara, preseden dan doktrin yang ekstensif

· Anggotanya 34 ahli hukum internasional dari berbagai kawasan dunia.

· Anggota dipilih untuk masa lima tahun dan dapat dipilh kembali

· Anggota komisi-mekipun dicalonkan oleh negaranya-menjalankan fungsinya dalam kapasitas pribadi

· WNI pertama yang menjabat sebagai anggota komisi ialah Prof. Dr. Mochtar Kusuma –Atmadja (1992-2001)

Hasil-hasil komisi hukum internasional

Dari sejak berdirinya, komosi trelah menghasilkan beberapa instrumen hukum yang penting, antara lain

· Konvensi-konvensi Jenewa 1958 tentang laut wilayah dan zona Tambahan, laut lepas, perikanan di laut lepas dan Ladas Kontinen

· Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik tahun 1961

· Konvensi Wina tentang hubungan Konsuler tahun 1963

· Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional atau Traktat tahun 1969

· Konvensi Wina tentang Suksesi Negara dalam kaitannya dengan perjanjian Internasional tahun 1978

· Konvensi PBB tentang “imunitas yurisdiksi Negara dan propertinya “ tahun 2004, dll

· Disamping itu Komisi juga telah menghasilkan rancangan pasal-pasal tentang tanggung jawab negara atas tindakan yang secara internasional melanggar hukum”. Meskipun belum menjadi hukum positif. Namun sudah menjadi acuan bagi berbagai pengadilan atau tribunal internasional, termasuk Mahkamah Internasional.

Sidang komisi ke-61 (2008)

Komisi membahas topik-topik

1. Shared natural resources

2. Effects of armed conflicts to treaties

3. Reservation to treaties

4. Expulsion of aliens

5. Responsibility of international organizations

6. Protection of person in the event of disasters

7. Immuniy of state officials from foreign criminal jurisdiction

8. The obligation to extradite or prosecute (aut dedere aut judicare)

Tidak ada komentar: