Kamis, 27 Mei 2010

HUKUM ACARA DALAM MEMPROSES PELANGGARAN HAM MELALUI MEKANISME MAHKAMAH PIDANA INTERNATIONAL (STATUTA ROMA) DIBANDINGKAN DENGAN PENGADILAN HAM NASIONAL

HUKUM ACARA DALAM MEMPROSES PELANGGARAN HAM MELALUI MEKANISME MAHKAMAH PIDANA INTERNATIONAL (STATUTA ROMA) DIBANDINGKAN DENGAN PENGADILAN HAM NASIONAL MENURUT UU NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Isu-isu seputar HAM tidak ada habis-habisnya untuk dibahas pada masa sekarang. Seorang pejabat yang dalam melakukan kebijakannya bisa saja dikatakan sebagai pelanggaran HAM, sampai dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang menjadi jurisdiksi dari pengadilan criminal Internasional (ICC), seperti Genocida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang dan agresi.
Pengaturan tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam UU no 26 tahun 2000, merupakan amanat dari UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sedangkan dalam ketentuan internasional diatur dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Di dalam konsideran dari undang-undang no 39 tahun 1999, tentang HAM dikatakan bahwa Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia1). Karena statute roma telah didopsi oleh PBB dalam konfrensi Diplomatik di Roma pada bulan Juli tahun 1998 dan telah dijadikan acuan oleh PBB dalam menuntut dan mengadili pelanggaran kejahatan yang sangat serius dan telah menjadi keprihatinan masyarakat internasional (serious crimes of international concerns) di muka sidang Mahkamah Pidana Internasional 2), maka Indonesia sebagai anggota PBB juga bertanggung jawab dalam meratifikasinya.

1) Undang-undang no 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, bagian menimbang d
2) Romli atmasasmita, pengantar hukum pidana intenasional bagian II, Hecca Press, 2004, hal 11
Dalam hal mekanisme penuntutan terhadap pelaku dari pelanggar kejahatan serius sebagaimana diatur dalam statute Roma tersebut juga di atur juga hukum acaranya, sedangkan dalam dalam peraturan nasional diatur dalam Undang-undang no 26 tahun 2000. Karena itu lah saya ingin mengetahui sampai sejauh mana keterkaitan antara hukum acara dalam statute roma dengan hukum acara dalam UU no 26 tahun 2000, dalam hal penegakan terhadap pelanggaran HAM.
B. Identifikasi masalah
1) Apakah hukum acara yang terdapat dalam UU no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM secara penuh merupakan adopsi dari Hukum acara dalam statute Roma?
2) Bagaimana hubungan antara hukum acara dalam UU no 26 tahun 2000 dihubungkan dengan KUHAP?

C. Maksud dan Tujuan penelitian
• Untuk menganalisis dan mendapatkan pemahaman akan perbedaan dan persamaan antara hukum acara pengadilan HAM menurut Statuta roma dibandingkan dengan pengadilan HAM Indonesia menurut UU nomor 26 tahun 2006 tentang pengadilan HAM
• Untuk menganalisis dan menambah pengetahuan akan khazanah ilmu dalam bidang penegakan HAM di tanah air.

D. Kegunaan penelitian
Semoga tulisan ini tidak hanya bermanfaat bagi penulis sendiri tapi juga bagi yang membacanya dalam hal mekanisme hukum acara baik yang sesuai dengan UU no 26 tahun 2000, maupun yang sesuai dengan statute Roma agar juga bermanfaat dalam perkembangan hukum pidana pada umumnya dan tehadap penegakan HAM pada khususnya.
E. Metoda Penilitian
Penulis menggunakan metoda penilitian yuridis normative dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum yang dengan berpegangan pada segi-segi yuridis. Penulis tentunya menggunakan tahap penelitian kepustakaan di Perpustakaan Hukum Mochtar Kusumatmadja Universitas Padjadjaran.

BAB II
TINJAUAN TEORI TERHADAP PERBANDINGAN HUKUM ACARA DALAM MEMPROSES PELANGGARAN HAM MELALUI MEKANISME MAHKAMAH PIDANA INTERNATIONAL (STATUTA ROMA) DENGAN PENGADILAN HAM NASIONAL MENURUT UU NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN
HAK ASASI MANUSIA

• Indonesia yang secara praktek lebih cenderung menganut primat hukum nasional dari pada primat hukum internasional maka sudah sepatutnya Indonesia lebih mengedepankan hukum nasional dari pada hukum internasional.
• Di Indonesia sendiri selain hukum acara dalam penegakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia sebagai mana tercantum dalam undang-undang no 26 tahun 2000, juga diatur dalam KUHAP, yang telah ada sebelumnya, maka disini berlaku asaas “ lex specialis derogate lex generalis”
• Terhadap studi perbandingan hukum
Perbandingan hukum
Studi perbandingan hukum telah dimulai sejak Aristoteles (384-322 SM) yang meneliti 153 konstitusi Yunani dan beberapa kota lainnya dalam bukunya, Polics. Solon (640-558 SM) melakukan studi perbandingan hukum ketika menyusun hukum Athena. Studi perbandingan hukum berlanjut pada abad pertengahan di mana dilakukan studi perbandingan antara hukum Kanotik (gereja ) dan hukum Romawi, dan pada abad 16 di Ingris telah memperdebatkan kegunaan hukum kanotik dan Hukum Kebiasaan.3)
Perbandingan hukum bagi para ahli ada yang menggolongkan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan namun ada juga yang menggolongkan sebagai suatu metoda. Perbandingan hukum sebagai suatu cabang dari ilmu pengetahuan dikemukakan oleh Lemaire, Ole Lando Hessel Yutema, Orucu. Sedangkan ahli yang yang berpendapat bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda dikemukakan oleh Rudolf B. Schlesinger, Winterton, Gutterdige dan Van Apeldorn

3) Romli atmasasmita, perbandingan hukum pidana, cv. Mandar Maju. 1996, hal 1

Lemaire mengumakakan, perbandingan hukum sebagai cabangilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan motoda perbandingan) mempunyai lingkup: (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebab, dan dasar-dasar kemasyarakatannya.
Ole Lando mengumakakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup, “analysis dan comparison of the law”. Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecendrungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu hukum. 4)
Hessel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum sebagai berikut:
Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagianyang menyatu dari suatu ilmu social, atau seperti cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal; sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia5)
Ocuru mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut: perbandingan merupakam suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara pelbagai sistem-sistem hukum;
Ahli-ahli yang menggolongkan perbandingan hukum sebagai metoda,
Rudolf B. Schlesinger, dalam bukunya (comparative law, 1959) mengemukakan antara lain:
• Comparative law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu
• Comparative law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum (is not a body of rules and principles)
• Comparative law adalah teknik atau menggarap unsure hukum asing yang actual dalam suatu masalah hukum.6)
Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yang membandingkan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan
4) Dikutpi dari romli atmasasmita, perbandingan hukum pidana, 1996
5) Ibid
6) Barda nawawi, perbandingan hukum pidana, 1990
Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum.
Van Apeldorn, secara tegas endukung perbandingan hukum sebagai metode, ia mengemukakan sebagai berikut: “ hukum sebagai gejala masyarakat . . . . sebagai juga halnya dengan tiap-tiap ilmu pengetahuan lainnya, ia tidak puas dengan mencatat gejala-gejala yang dilihatnya, akan tetapi . . . . mencoba menerangkannya hubungan sebab akibat dengan gejala –gejala lainnya. Untuk mencapai tersebut, ia memakai tiga cara : cara sosiologis, cara sejarah dan cara perbandingan hukum…”

BAB III
DESKRIPSI ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM ACARA DALAM MEMPROSES PELANGGARAN HAM MELALUI MEKANISME MAHKAMAH PIDANA INTERNATIONAL (STATUTA ROMA) DENGAN PENGADILAN HAM NASIONAL MENURUT UU NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN
HAK ASASI MANUSIA

Pengaturan akan keberadaan HAM di Indonesia baru muncul pada tahun 1999, yaitu dengan kemunculan uu no 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia. Sedangkan pembentukan lembaga peradilannya sendiri baru terealisasi pada tahun 2000, dengan di sahkannya UU no 26 tahun 2000, tentang pengadilan HAM.
Di Indonesia, isu-isu adanya pelanggaran HAM telah beredar sebelum undang-undang tersebut berhasil diundangkan, sebut saja kasus Timor-timor, kasus semanggi, petrus, dan lain sebagainya. Disini muncul tantangan bagaimana menerapkan pengadilan HAM kepada kasus-kasus yang terjadi dahulu tersebut, makanya disini juga terkait dengan asas legalitas.
Indonesia sebagai Negara yang menganut primat hukum nasional sudah sepantaasnya mengedepankan hukum nasional disbanding dengan hukum Internasional. Disini terkait dengan keberadaan Indonesia sebagai anggota PBB dan juga keberadaan Statuta Roma yang kita mempunyai tanggung jawab moral untuk meratifikasinya.
Dalam tulisan ini saya penulis, mencoba untuk membandingkan hukum acara dalam pengadilan HAM di Indonesia dengan pengaturan yang ada di statute Roma dan sejauh mana pengaruhnya.
BAB IV
HUKUM ACARA DALAM MEMPROSES PELANGGARAN HAM MELALUI MEKANISME MAHKAMAH PIDANA INTERNATIONAL (STATUTA ROMA) DENGAN PENGADILAN HAM NASIONAL MENURUT UU NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Hukum acara Pelanggaran HAM dalam Pengadilan HAM di Indonesia
Hukum acara yang dipergunakan untuk penanganan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah KUHAP, sepanjang hal itu tidak diatur dalam undang-undang no 26 tahun 2000.
A. Penangkapan
1. Bukti permulaan yang cukup (pasal 11 ayat 1, uu no 26 tahun 2000)
alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHAP, yakni, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
2. Dilakukan oleh Penyidik (pasal 11 ayat 2)
Penangkapan hanya bisa dilakukan oleh penyidik dalam hal ini adalah Jaksa Agung. Ini berarti tidak semua aparat kejaksaan menjadi penyidik dalam perkara pelanggaran HAM
3. Dilengkapi Surat Tugas (pasal 11 ayat 20)
4. Dilengkapi dengan surat Perintah Penangkapan (pasal 11 ayat 2)
5. Tembusan Surat Perintah Penahanan.
Segera setelah penangkapan dilakukan (pasal 11 ayat 3 uu no 26 tahun 2000) maka tembusan Surat Perintah. Segera disini, baik dari uu no 26 tahun 2000 maupun dalam KUHAP tidak menentukan secara limitative berapa lama maksud segera itu.
B. Penahanan
Dalam perkara pelanggaran HAM berat Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut umum (pasal 12 ayat 1 uu 26 tahun 2000) berwenag melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, sedangkan hakim Pengadilan HAM ( ayat (2)) dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan. Penahanan atau penahanan lanjutan (ayat (3)) dilakukan dengan Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau Penuntut Umum atau dengan Penetapan Hakim.
Lamanya penahanan/perpanjangan penahanan itu adalah sebagai berikut:
No Penahanan untuk : Perpanjangan penahanan oleh: Lamanya: Pasal
1. Penyidikan - 90 hari 13 ayat 1
Ketua Pengadilan HAM 90 hari 13 ayat 2
Ketua Pengadilan HAM 60 hari 13 ayat 3
2. - 30 hari 14 ayat 1
Ketua Pengadilan HAM 20 hari 14 ayat 2
Ketua Pengadilan HAM 20 hari 14 ayat 3
3. Siding pengadilan HAM - 90 hari 15 ayat 1
Ketua Pengadilan HAM 30 hari 15 ayat 2
4. Pemeriksaan Banding oleh Pengadilan Tinggi HAM - 60 hari 16 ayat 1
Ketua PT. HAM 30 hari 16 ayat 2
5. Pemeriksaan Kasasi oleh MA - 60 hari 17 ayat 1
Ketua MA 30 hari 17 ayat 2
Jumlah 610 hari


C. Penyelidikan
Adalah serangkaian tindakan penyidik mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentuksn dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan (pasal 1 angka 5 HUHAP), dengan demikian penyelidikan menurut uu no 26 tahun 2000 adalah serangkaian tindakan penyelidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat. Penyelidikan dilakukan oleh KOMNAS HAM selaku Penyelidik.
Wewenang penyelidik
1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
2. Menerima laporan dan pengaduan
3. Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan
4. Memanggil saksi
5. Meninjau tempat kejadian
6. Memanggil pihak terkait
7. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa
a. Pemeriksaan surat
b. Penggeledahan dan penyitaan
c. Pemeriksaan setempat terhadap:
• Rumah
• Pekarangan
• Bangunan
• Tempat-tempat lain yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu
d. Mendatangkan ahli dalam hubungan penyelidikan

D. Penyidikan
Penyidikan dalah tindakan pro justicia selama pemeriksaan pendahuluan untuk mencari bukti –bukti tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat7).
Dalam penyidikan, dilakukan oleh jaksa Agung (pasal 21). Ia dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsure masyarakat dan unsure pemerintah
Penyidikan dilakukan dalam jangka waktu 240 hari, jika dalam jangka waktu tersebut tidak ditemukan cukup bukti, maka jaksa agung musti mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, namun dapat di buka kembali apabila terdapat bukti baru.
Terhadap SPPP tersebut jika pihak korban mengajukan keberatan dilakukan melalui mekanisme praperadilan.

E. Penuntutan
Penuntutan adalah suatu proses pelimpahan perkara pelanggaran HAM yang berat kepada Pengadilan HAM dengan membuat surat dakwaaan.

7) Darwan Prinst, Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, 2001: hal 87
Penuntutan dilakukan oleh jaksa agung, dan jaksa agung ini pun dapat mengangkat penuntut umum Ad Hoc yang terdiri atas unsure pemerintah dan atau masyarakat.


F. Acara pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim yang berjumlah 5 orang. Terdiri dari 2 orang hakim pengadilan Tinggi bersangkutan dan 3 orang hakim Ad hoc. 8)
Dalam hal perkara diajukan kasasi ke MA (pasal 33) maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke MA. Pemeriksaan dilakukan oleh 2 orang hakim agung dan 3 orang hakim ad hoc.


Hukum Acara Pelanggaran HAM Dalam international criminal court (ICC)
A. Dimulainya penyelidikan
1. Jaksa setelah mengevaluasi informasi dapat memulai suatu penyelidikan, kecuali kalau ia menentukan bahwa tidak dasar yang kuat. Saat memulai penyelidikan, jaksa harus mempertimbangkan bahwa apakah:
a. Informasi dengan alasan yang kuat mengenai adanya tindak pidana pelanggaran HAM
b. Kasus ini memenuhi syarat bisa diterima berdasarkan pasal 17
c. Mengingat derajat kejahatan dan kepentingan korban, betapapun ada banyak alasan untuk diyakini bahwa suatu penyelidikan dapat dilakukan
Kalau jaksa menentukan bahwa tidak ada alasan yang masuk akal untuk melanjutkan perkara dan keputusannya didasarkan semata-mata pada ayat c di atas maka ia harus memberi tahu divisi prayustisi
2. Apabila setelah penyelidikan jaksa menyimpulkan bahwa tidak ada alasan cukup untuk suatu penuntutan karena:
a. Tidak ada dasar hukum atau tidak ada fakta yang cukup untuk mengupayakan surat dakwaan atau surat panggilan berdasarkan pasal 58
b. Kasus itu tidak bisa diterima berdasarkan pasal 17
c. Penuntutan tidak sesuai dengan kepentingan keadilan

8) ibid
Jaksa member tahu divisi prayustisi dan Negara yang menyerahkan perkara tersebut berdasarkan pasal 14 atau dewan keamanan mengenai suatu kasus berdasarkan pasal 13 ayat (b) tentang kesimpulan serta alasan-alasan untuk tidak meneruskannya

3. a. atas permintaan Negara pelapor (pasal 14) atau dewan keamanan (pasal 13 ayat (b)) divisi prayustisi dapat meninjau keputusan jaksa bedasarkan ayat (1) atau ayat (2) untuk tidak melanjutkan perkara dan dapat minta kepada jaksa untuk mempertimbangkan kembali keputusannya.
b. di samping itu, divisi prayustisi atas prakarsanya, meninjau suatu keputusan jaksa untuk tidak melanjutkan perkara kalau hal itu didasarkan semata-mata pada ayat (1) c atau ayat (2) c. dalam hal seperti itu, keputusan jaksa akan berlaku kalau diperkuat oleh rekomendasi divisi prayustisi

4. jaksa setiap waktu dapat mempertimbangkan kembali suatu keputusan apakah hendak dilanjutkan dengan penyidikan atau penuntutan berdasarkan fakta-fakta atau informasi baru (pasal 53)

B. tugas dan kekuasaan Jaksa Berkenaan dengan Penyelidikan dan Penyidikan
1. Jaksa
a) Untuk menegakkan kebenaran, memperluas penyidikan sehingga meliputi semua fakta dan pembuktian yang relevan dengan penilaian apakah ada tanggung jawab pidana tersangka dan dalam menyelidiki keadaan-keadaan yang memberatkan serta meringankan tersangka secara seimbang dan adil
b) Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk memastikan penyidikan dan penuntutan kejahatan secara efektif dalam yurisdiksi pengadilan
c) Sepenuhnya menghormati hak tersangka
2. Jaksa dapat melakukan penyelidikan di wilayah suatu Negara
a) Sesuai dengan ketentuan kerja sama internasional yang ada dan bantuan hukum
b) Wewenang diberikan oleh Divisi Prayustisi berdasarkan pasal 57, ayat 3d
3. Jaksa dapat:
a) Mengumpulkan dan memeriksa bukti
b) Meminta kehadiran dan keterangan tersangka, korban, dan saksi
c) Mengupayakan kerja sama dengan Negara atau organisasi, kerja sama pemerintah sesuai dengan kompensasi dan mandate masing-masing
d) Mengadakan persetujuan yang tidak bertentangan dengan statute ini
e) Merahasiankan setiap tahapan prses perkara, dokumen, atau informasi yang diperoleh jaksa untuk keperluan menemukan bukti baru
f) Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kerahasian informasi, perlindungan terhadap seseorang dan terpeliharanya bukti (pasa, 54)
Hak tersangka selama penyelidikan dan penyidikan berlangsung
1. Saat penyelidikan berlangsung, tersangka:
a) Tidak boleh dipaksa untuk memberatkan dirinya sendiri atau mengakui bahwa ia bersalah
b) Tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan, paksaan atau ancaman, siksaan.
c) Mendpatkan bantuan penerjemah secara Cuma-Cuma apabila diluar bahasa yang dipahami
d) Tidak boleh ada penangkapan yang sewenang-wenang
2. Apabila ada alasan untuk percaya bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan dan orang tersebut hendak diperiksa oleh jaksa atau oleh para pejabat nasional, permintaan tersebut diajukan berdasarkan kerja sama internasional dan banr=tuan hukum, maka orang tersebut mempunyai hak-hak sbb:
a) Untuk diberi tahu, sebelum duperiksa bahwa ada alasan kuat bahwa ia telah melakukan suatu kejahatan dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC)
b) Mendapat bantuan hukum dalam hal pembelaan disetiap hal, walau tersangka tidak mempunyai dana untuk membayarnya
c) Untuk diperiksa dengan didampingi penasihat hukum, kecuali kalau tidak memanfaatkan haknya didamppingi penasihat hukum (pasal 55)
Peranan Divisi Prayustisi dalam Hubungan dengan Kesempatan Penyelidikan dan Penyidikan yang Khas
1. a) bila jaksa menganggap bahwa suatu penyidikan dan penyelidikan member kesempatan untuk mengambil kesaksian atau penyertaan dari saksi atau untuk memeriksa mengumpulkan atau menguji bukti, yang kemudian tidak tersedia untuk keperluan persidangan, jaksa harus memberitahukan hal itu kepada divisi prayustisi
b) dalam hal ini divisi prayustisi atas permintaan jaksa dapat mengambil langkah-langkah uang diperlukan untuk kelancaran suatu proses perkara, termasuk untuk melindungi hak-hjak terdakwa dan pembelanya.
c) Kecuali kalau divisi prayustisi memerintahkan sebaliknya, jaksa harus memberitahukan informasi yang relevan kepada orang yang telah ditangkap atau yang menghadap dalam memenuhi surat panggilan dalam hubungannya dengan penyelidikan dan penyidikan
2. Tindakan-tindakan yang disebut dalam ayat 1 (b) dapat termasuk:
a. Membuat rekomendasi atau perintah berkenaan dengan acara yang akan berlangsung
b. Member arahan mengenai catatan proses perkara
c. Menunjuk seoang ahli untuk membantu
d. Member wewenang kepada penasihat hukum untuk memenuhi surat panggilan dan menunjuk seorang penasihat hukum untuk kepentingan pembelaan
e. Menujuk seorang anggotanya atau kalau perlu untuk menjalankan dan membuat rekomendasi atau perintah mengenai pengumpulan dan pemeliharaan bukti dan keterangan yang diperlukan
f. Mengambil tindakan lain yang diperlukan untuk mengumpulkan atau memelihara bukti
3. Keputusan pra yustisi untuk bertindak atas prakarsanya sendiri dapat dimintakan banding oleh jaksa
4. Bisa diterimanya pembuktian yang disiapkan untuk pengadilan atau catata yang bersangkutan, diatur oleh pasal 69 mengenai persidangan (pasal 56)

Persidangan Pengadilan Pidana Internasional
A. Fungsi dan Kewenangan
1. Fungsi dan kewenangan dilaksanakan sesuai ketentuan statute dan hukum acara pidana yang berlaku
2. Persidangan dijamin berpegang pada prinsip keadilan, menghormati hak terdakwa dan memerhatikan perlindungan korban dan saksi serta memerhatikan prinsip kecepatan
3. Tahap-tahap pelaksanaan persidangan adalah sebagai berikut
a) Cepat dan adil yang didukung oleh hukum acara yang praktis yang dihasilkan dari perundingan para fungsionaris hukum yang memeriksa dan mengadili perkara
b) Menetapkan bahasa yang dugunakan dalam persidangan
c) Persiapan yang memadai dengan mengiventarisasi semua dokumen dan informasi selengkap mungkin
4. Demi keadilan, kantor panitera melakukan serangkaian diskusi dengan fungsionaris pada divisi prayustisi dan pakar hukum yang ada di prayustisi
5. Kantor panitera pengadilan akan memberitahukan mengenai penggabungan atau pemisahan perkara apabila terdakwanya lebih dari seorang
6. Pengadilan sebelum persidangan bila perlu dapat
a. Melaksanakan setiap fungsi divisi prayustisi mengenai penetapan pengadilan yang akan menggelar perkara
b. Menghadirkan para saksi yang telah disiapkan
c. Member pengamanan terhadap informasi rahasia
d. Penyiapan barang bukti lain yang ditemukan untuk kelengkapan bukti yang sudah ada sebelum persiapan persidangan (berkas perkara)
e. Memberikan perlindungan kepada terdakwa, saksi dan korban
f. Menetapkan hal-hal yang relevan untuk kesiapan persidangan yang representatif
7. Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali situasi tertentu pengadilan bisa menetapkan persidangan tertutup
8. a. pada saat dimulainya persidangan pengadilan harus sudah membacakan surat dakwaan yang telah dsiapkan. Selanjutnya menyampaikan pengakuan atau menyatakan tidak bersalah
b. dalam persidangan, ketua majelis hakim member pengarahan yang meyakinkan bahwa peradilan dilakukan secara adil dan tidak memihak. Persidangan akan sangat memerhatikan bukti-bukti dan kaidah-kaidah statuta.
9. Pengadilan memiliki wewenang:
a. Menetapkan releva atau tidaknya suatu bukti
b. Mengambil langkah-langkah demi tertibnya persidangan.
Penitera pengadilan harus mencatat hal-hal secara lengkap di dalam persidangan secara utuh dan catatan harus dijaga oleh panitera. (pasal 64)


BAB V
KESIMPULAN
No Tahap beracara UU no 26 2000 Statuta Roma
1. Penangkapan Bukti permulaan yang cukup (pasal 11 ayat 1, uu no 26 tahun 2000)
Dikeluarkan oleh divisi prayustisi
Dilakukan oleh Penyidik (jaksa agung) (pasal 11 ayat 2)
Dilakukan oleh aparat Negara yang terkait
Dilengkapi Surat Tugas (pasal 11 ayat 20)

Dilengkapi dengan surat Perintah Penangkapan (pasal 11 ayat 2)

Tembusan Surat Perintah Penahanan
2. Penahanan Diatur mengenai masa penahanan/perpanjangan penahanan Tidak diatur mengenai masa penahanan /perpanjangan penahanan
3. penyelidikan Dilakukan oleh Komnas HAM Dilakukan oleh jaksa
Dalam melakukan penyelidikan dapat meminta bantuan penyelidik ad hoc Dalam melakukan penyelidikan dapat bekerja sama dengan Negara atau organisasi
4. Penyidikan Dilakukan oleh Jaksa Agung (pasal 21) Dilakukan oleh jaksa
Dapat mengangkat penyidik ad hoc
Penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
Dilakukan atas dasar penyelidikan oleh Komnas HAM
5. Penuntutan Dilakukan oleh jaksa (pasal 23) Dilakukan oleh penuntut umum
Dapat mengangkat penuntut umum ad hoc
Dilakukan atas dasar penyelidikan oleh Komnas HAM
6. Divisi prayustisi Tidak dikenal adanya divisi pra yustisi Terdapat divisi prayustisi
Merupakan divisi yang sentral, dimulai pemberiatahuan diadakannya penyelidikan sampai dengan tahap sebelum pengajuan ke pengadilan
7. Keberadaan hakim Dimungkinkan keberadaan hakim ad hoc (pasal 28 (1)) Hakim merupakan hakim tetap
8. Penjatuhan hukuman Penjara: min 5 (pasal 38,39), max hukuman mati (pasal 36) Penjara: max 30 tahun atau seumur hidup,tergantung kondisi personal dari terpidana
Denda. (pasal 77)
A. Perbedaan dan Persamaan
1. Perbedaan.
Saya tuangkan dalam bentuk tabel pada halaman sebelumnya.

2. Persamaan
Terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi baik sebelum diundangkannya UU no 26 tahun 2000 tentang pwngadilan HAM maupun sebelum berlakunya yurisdiksi Statuta Roma, maka pengusutan kasus tersebut dilakukan dengan pembentukan pengadilan Ad Hoc.

B. Hubungan UU no 26 tahun 2000 dengan KUHAP
UU no 26 tahun 2000tentang pengadilan dengan KUHAP merupakan undang yang setingkat, sehingga asas lex spesialis derogate lex generalis disini berlaku.
Ada beberapa hal yang berbeda antara UU no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dengan KUHAP. Salah satunya yaitu tentang penyelidikan. Dalam UU no 26 tahun 2000tentang pengadilan HAM, yang melakukan penyelidikan adalah komnas HAM, sedangkan dalam KUHAP, yang menjadi penyelidik adalah Polisi.










DAFTAR PUSTAKA
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cv. Mandar Maju. 1996
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Intenasional Bagian II, Hecca Press, 2004
Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, 1990
Darwan Prinst, Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, 2001: Hal 87
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Rome Statue, International Criminal Court

Tidak ada komentar: