Minggu, 04 Januari 2009

TUGAS MATA KULIAH HUKUM AGRARIA

ANALISA ATAS KASUS PENGELOLAN TANAH,

TUNTUTAN PETANI SIDRAP ATAS LOKASI PERKEBUNAN

PT.SEMESTA MARGAREKSA

Nama : Adib Hasan

Npm : 110110070518

Dosen : Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...

Penulis

DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1

B. Tujuan 1

C. Metode penulisan 1

Bab II PEMBAHASAN

A. Uraian kasus 2

B. Analisa kasus 5

Bab III PENUTUP

A. Kesimpulan 6

B. Saran 6

Daftar pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang

Manusia sebagai makhluk sosial sudah barang tentu terjadi interaksi antar sesamanya. Dalam interaksi tersebut tidaklah selalu berjalan dengan lancar, pasti ada perbenturan kepentingan. Hal inilah yang menimbulkan konflik antar kita.

Konfik yang terjadi tersebut dapat juga terjadi dalam hal pertanahan. Sebagai contoh saja kasus pengelolan lahan berikut ini yang berujung pada penangkapan pihak kepolisian.

  1. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah agar saya dapat juga menyumbangkan pemikiran terhadap kasus yang terjadi dalam masyarakat.

  1. Metode penulisan

Metode yang saya gunakan adalah tinjauan pustaka

Disini penulis menggunakan sarana internet sebagai sumber informasi

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Uraian kasus

Berikut ini adalah tulisan yang dibuat oleh administrator website kpa.or.id, tertanggal 29 Juni 2008

Hentikan Pendekatan Keamanan Dalam Penyelesaian Sengketa Agraria Terhadap Warga Petani Banjaran

Pada hari Jum’at tanggal 25 Juli 2008, terjadi penangkapan kepada para petani berjumlah 46 orang di area perkebunan sawit milik PT. Buana Estate yang terletak di Kampung Banjaran Kecamatan Secanggang, Kab. Langkat, Sumatera Utara. Penangkapan dilakukan oleh POLRES LANGKAT terhadap petani di kampung Banjaran dikarenakan sebelumnya, pada tanggal 21 Juli warga didatangi oleh aparat kepolisian hingga eskalasi konflik meningkat pada tanggal 23 dan puncaknya tanggal 24 Juli yang berakhir dengan bentrok antara petani dan polisi. Dalam peristiwa tersebut, terjadi kekerasan yang dilakukan oleh karyawan dan Satpam PT.Buana Estate yang berjumlah ± 350 orang dan didukung oleh 120 orang aparat kepolisian dengan mengendarai 2 mobil truk.

Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan tindakan melecehkan kewibawaan Kepolisian Indonesia dan melanggar Hak Azasi Manusia. Dalam kasus ini, terlihat dengan jelas ke arah mana keberpihakan aparat penegak hukum dan mengabaikan proses peradilan yang berlangsung dimana petani melakukan gugatan balik ke perusahaan perkebunan dikarenakan ada kejanggalan perpanjangan HGU-nya.

Sebagaimana diketahui, PT. Buana Estate adalah perusahaan yang memperoleh izin mengerjakan perkebunan sawit di wilayah Cintaraja, Kecamatan Secanggang, Kab.Langkat, Sumatera Utara dengan luas 1.785 Ha (dan termasuk dalam luasan lahan tersebut, terdapat tanah warga kampung Banjaran seluas 70, 3 Ha) dengan memperoleh legalitas melalui SK Gubernur Sumut Surat Gubernur Sumatera Utara No. 23246/Sekr dan Surat Mendagri No. 9/HGU/DA/82. HGU berakhir pada tanggal 31 Desemberi tahun 2007.

Mengetahui izin HGU-ya telah berakhir dimana PT. Buana Estate tidak dapat membuktikan perpanjangan HGU dengan bukti-bukti yang otentik dan semakin menunjukkan arogansi kekuasaan dengan menggandeng aparat kepolisian dalam penyelesaian konflik (tanggal 21, 23, 24 dan 25 Juli 2008) yang menyebabkan jatuhnya korban di pihak petani yang sesungguhnya adalah pemilik yang sah (de jure).

Dengan dalih apapun, aparat kepolisian tidak dibenarkan melakukan penangkapan seperti pelaku kriminal, sementara konflik tersebut masih dalam proses pengadilan. Peristiwa penangkapan yang dilakukan oleh Polisi merupakan bentuk kesewenang-wenangan aparat keamanan dalam menyelesaikan persoalan agraria. Dari seluruh konflik agraria yang ada di negeri ini, tindakan kekerasan aparat selalu saja menyertai setiap konflik. Korban yang jatuh juga selalu rakyat kecil, tak bertanah dan miskin. Sungguh mengherankan, apakah harus selalu rakyat yang jadi korban di negeri ini?

Penangkapan warga Banjaran oleh Polisi adalah jauh dari prosedur hukum, hal tersebut pantas untuk dicap sebagai tindakan tercela dan merendahkan martabat manusia. Di tengah maraknya kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap rakyat tak berdosa, Polres Langkat bukannya hati-hati dalam bertindak, malah semakin berani melakukan pelanggaran HAM. Tindakan ini adalah pengingkaran terhadap kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia, termasuk Hak asasi rakyat petani.

Untuk itu Kelompok Tani Masyarakat Ingin Makmur (KTMIM), Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Bina Desa Sadajiwa (BDS), Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), menyatakan:

1. Mengutuk tindakan aparat kepolisian yang telah berbuat semena-mena terhadap Petani Warga Banjaran Kecamatan Secanggang Sumatera Utara, dan membabaskan tanpa syarat, warga petani yang ditangkap pada tanggal 25 Juli 2008 oleh aparat Polres Langkat.

2. Mengusut dan menindak pelaku penangkapan (aparat polres Langkat), baik personil yang bertugas dilapangan maupun pejabat kepolisian yang tidak terlibat secara langsung dalam tragedi Jum’at 25 Juli 2008.

3. Menyatakan dukungan penuh terhadap Warga Banjaran yang sedang berjuang dalam mempertahankan hak atas tanah yang sesungguhnya dijamin oleh undang-undang di negeri ini, seperti tercantum dengan jelas dalam Pasal 29 (2) UUPA, PP 224 tahun 1961, yang merupakan mandat dari Pasal 33 (3) Undang-undang Dasar 1945.

4. Meninjau ulang HGU-HGU bermasalah yang terindikasi cacat hukum dalam perolehannya dan HGU yang tidak sesuai dengan peruntukannya serta melebihi jumlah luasan HGU sesungghnya.

5. Mendorong Komnas Ham untuk melakukan investigasi langsung ke lapangan.

6. Mendorong Komnas Perempuan untuk melakukan investigasi langsung ke lapangan terkait kekerasan aparat terhadap Ibu-ibu petani Warga Kampung Kompak Banjaran.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, demi rasa kemanusiaan dan keadilan. Sebagai wujud solidaritas kami kepada korban-korban yang berjatuhan di pihak rakyat tidak berdosa akibat tindak kekerasan aparat dalam penyelesaian konflik-konflik agraria di Indonesia.

Jakarta, 26 Juli 2008

Kelompok Tani Masyarakat Ingin Makmur (KTMIM)

Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Bina Desa Sadajiwa (BDS), Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS).

  1. Analisa kasus

Menurut saya pribadi, kasus yang terjadi di Kampung Banjaran Kecamatan Secanggang, Kab. Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 25 Juli 2008 ini merupakan kasus dalam pengelolaan lahan yang sering sekali terjadi di Indonesia.

Kasus yang terjadi di Banjaran ini mungkin salah satu dari ratusan kasus yang pernah terjadi.

Persoalan ini sebenarnya sederhana. Berawal dari keinginan para petani banjaran untuk kembali mengelola lahannya, berhubung dengan berakhirnya izin pengelolaan tanah PT. Buana Estate atas tanah seluas 1.785 Ha yang di dalamnya termasuk tanah warga kampung Banjaran seluas 70, 3 Ha) telah berakir pada 31 Desember 2007.

Persoalan timbul ketika pihak PT. Buana Estate tidak rela perkebunan tersebut digarap oleh petani banjaran. Untuk itu mereka melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian, sehinngga terjadilah bentrok antara pihak kepolisian dengan dengan petani yang berujung pada penangkapan 46 petani.

Setelah di usut lebih lanjut ternyata SK Gubernur Sumut Surat Gubernur Sumatera Utara No. 23246/Sekr dan Surat Mendagri No. 9/HGU/DA/82, yang merupakan izin HGU memang berakhir pada 31 Desember 2007, dan tidak diperpanjang.

Sehingga sudah senyatanyalah petani tersebut behak untuk mengelola lahan tersebut.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Petani berhak mengelola lahan tersebut

2. PT. Buana Estate seharusnya sudah tidak lagi mengelola lahan tersebut sejak 1 Januari 2008

3. Terjadinya kesalahan tindakan yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian, dalam menangani masalah tersebut

Saran :

1. Terhadap PT. Buana Estate, seharusnya mereka tidak lagi mengelola lahan tersebut sejak 31 Januari 2007

2. Terhadap kepoliasian, hendaknya dalam menangani suatu kasus atau perkara, harus dilihat dulu duduk perkaranya. Sehingga jika hal ini dapat dilakukan dengan baik tidak akan terjadi yang namanya konfik dan petani kecil tidak lagi dirugikan.

3. Terhadap yang memberikan izin HGU, diharapkan adanya pemberitahuan beberapa waktu sebelum habisnya izin tersebut

4. Terhadap petani, teruslah berjuang...

Daftar pustaka

http://www.kpa.or.id/

Tidak ada komentar: